Minggu, 19 Juni 2011

Asal Usul Nama Indonesia


Asal Usul Nama Indonesia
Pada zaman purba, kepulauan tanah air kita disebut dengan aneka nama. Dalam catatan bangsa Tionghoa kawasan kepulauan kita dinamai Nan-hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang).
Kisah Ramayana karya pujangga Valmiki yang termasyhur itu menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Ravana, sampai ke Suwarnadwipa (Pulau Emas, yaitu Sumatra sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut tanah air kita Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan adalah benzoe, berasal dari bahasa Arab luban jawi (kemenyan Jawa), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatra. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab. Bahkan orang Indonesia luar Jawa sekalipun. “Samathrah, Sholibis, Sundah, kulluh Jawi (Sumatra, Sulawesi, Sunda, semuanya Jawa)” kata seorang pedagang di Pasar Seng, Mekah.
Lalu tibalah zaman kedatangan orang Eropa ke Asia. Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang itu beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari Arab, Persia, India, dan Cina. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Cina semuanya adalah “Hindia”. Semenanjung Asia Selatan mereka sebut “Hindia Muka” dan daratan Asia Tenggara dinamai “Hindia Belakang”. Sedangkan tanah air kita memperoleh nama “Kepulauan Hindia” (Indische Archipel, Indian Archipelago, l’Archipel Indien) atau “Hindia Timur” (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang juga dipakai adalah “Kepulauan Melayu” (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l’Archipel Malais).
Ketika tanah air kita terjajah oleh bangsa Belanda, nama resmi yang digunakan adalah Nederlandsch-Indie (Hindia Belanda), sedangkan pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur). Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah mengusulkan nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan tanah air kita, yaitu Insulinde, yang artinya juga “Kepulauan Hindia” (bahasa Latin insula berarti pulau). Tetapi rupanya nama Insulinde ini kurang populer. Bagi orang Bandung, Insulinde mungkin cuma dikenal sebagai nama toko buku yang pernah ada di Jalan Otista.
Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya. Setiabudi mengambil nama itu dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920.
Namun perlu dicatat bahwa pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian, nusantara zaman Majapahit. Pada masa Majapahit Nusantara digunakan untuk menyebutkan pulau-pulau di luar Jawa (antara dalam bahasa Sansekerta artinya luar, seberang) sebagai lawan dari Jawadwipa (Pulau Jawa). Kita tentu pernah mendengar Sumpah Palapa dari Gajah Mada, “Lamun huwus kalah nusantara, isun amukti palapa” (Jika telah kalah pulau-pulau seberang, barulah saya menikmati istirahat). Oleh Dr. Setiabudi kata nusantara zaman Majapahit yang berkonotasi jahiliyah itu diberi pengertian yang nasionalistis. Dengan mengambil kata Melayu asli antara, maka Nusantara kini memiliki arti yang baru yaitu “nusa di antara dua benua dan dua samudra”, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi nusantara yang modern. Istilah nusantara dari Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif dari nama Hindia Belanda.
Sampai hari ini istilah nusantara tetap kita pakai untuk menyebutkan wilayah tanah air kita dari Sabang sampai Merauke. Tetapi nama resmi bangsa dan negara kita adalah Indonesia. Kini akan kita telusuri dari mana gerangan nama yang sukar bagi lidah Melayu ini muncul.
Nama Indonesia
Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (Srilanka) dan Maldives (Maladewa). Lagi pula, kata Earl, bukankah bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini? Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago. Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah “Indian Archipelago” terlalu panjang dan membingungkan. Logan memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia.
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan: Mr. Earl suggests the ethnographical term Indunesian, but rejects it in favour of Malayunesian. I prefer the purely geographical term Indonesia, which is merely a shorter synonym for the Indian Islands or the Indian Archipelago. Ketika mengusulkan nama “Indonesia” agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama bangsa dan negara yang jumlah penduduknya peringkat keempat terbesar di muka bumi!
Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama “Indonesia” dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara ke tanah air kita tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah “Indonesia” di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah “Indonesia” itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indie tahun 1918. Padahal Bastian mengambil istilah “Indonesia” itu dari tulisan-tulisan Logan.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika di buang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Makna Politis
Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan! Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya.”
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”. Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah.
Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.

Asal Mula Indonesia bukan Kerajaan


Asal Mula Indonesia bukan Kerajaan 

Republik Pertama di Nusantara - Republik Lan Fang

Republik Lan Fang , demikian namanya yang pernah dibentuk oleh orang orang Hakka dari Kwangtung pada akhir abad ke-18. Republik ini berlangsung selama 107 tahun lamanya dan mencatat 10 presiden yang pernah memimpin di republik yang berlokasi di Kalimantan Barat ini.
Presiden pertamanya adalah Lo Fang Pak, beliau dilahirkan tahun 1738 di Kwangtung, Mei Hsien, Shih Pik Pao pada tahun ke-3 Dynasty Ching saat Raja Chien Long berkuasa. Beliau pernah mempunyai anak dari perkawinannya, namun pada zaman itu tradisi Hakka tidak membawa isteri keluar negeri.
Hijrah ke Kalimantan Barat
Lo Fang Pak mulai bertualang pada usia 34 tahun beliau pergi merantau ke Kalimantan Barat saat ramainya orang mencari emas (Gold Rush). Beliau menyusuri Han Jiang menuju Shantao, sepanjang pesisir Vietnam, dan akhirnya berlabuh di Kalimantan Barat. Ketika itu Sultan Panembahan yang percaya bahwa orang Tionghoa adalah pekerja keras membawa 20 pekerja Tionghoa dari Brunei. Sultan Omar di Singkawang juga mendengar tentang ketekunan orang Tionghoa memanfaatkannya melalui sistem kontrak lahan kepada orang Tionghoa guna membuka kawasannya.
Ketika Lo Fang Pak sampai di Kalimantan Barat, Belanda belum secara agresif merambah ke Kalimantan. Di pesisiran banyak didiami orang Jawa dan Bugis, yang mana daerah ini dikuasai oleh Sultan, dan bagian pedalaman didiami oleh orang Dayak, kendati batas teritorialnya tidak jelas.
Lan Fang Kongsi
Pada permulaan tahun 1740, jumlah orang Tionghoa hanya beberapa puluh saja disana. Pada tahun 1770 orang Tionghoa disana sudah mencapai 20.000 orang. Mereka berdatangan berdasarkan pertalian saudara, sekampung halaman , atau sesama kumpulan. Kelompok Tionghoa ini membentuk Kongsi (perusahaan) untuk melindungi mereka. Lo Fang Pak diangkat menjadi ketua.
Pada tahun 1776, 14 Kongsi di satukan membentuk He Soon 14 Kongsi guna menjaga kesatuan dari ancaman persengketaan antar kumpulan, daerah asal, dan darah. Pada saat itu Lo Fang Pak mendirikan Lan Fang Kongsi, kemudian menyatukan semua orang golongan Hakka di daerah yang dinamakan San Shin Cing Fu (danau gunung berhati emas), dan mendirikan kota Mem-Tau-Er sebagai markas besar dari group perusahaannya.
Berdirinya Republik Lan Fang
Lo Fang Pak mendirikan pemerintahan, dengan mengambil nama dari perusahaannya. Pada tahun 1777 berdirilah Republik Lan Fang, 10 tahun lebih awal dari Amerika Serikat (1787). Ketika itu banyak orang meminta Lo Fang Pak menjadi Sultan (monarki), tapi beliau menolak dan tetap menempatkan dirinya sebagai Presiden dalam pemerintahan yang bersistem republik, dan presidensil.
Zaman keemasan
Lo Fang Pak dalam masa pemerintahannya telah menjalankan system perpajakan, dan mempunyai kitab undang undang hukum, menyelenggarakan system pertanian dan pertambangan yang terarah, membangun jaringan transportasi, dan mengusahakan ketahan ekonomi berdikari lengkap dengan perbankannya. Sistem pendidikan tetap diperhatikan bahkan semakin dikembangkan, seperti diketahui bahwa Lo Fang Pak sendiri asalnya memang seorang guru.
Republik Lan Fang bukan hanya disegani kekuatan militernya tapi juga keahlian mereka dalam mengusir buaya di kawasan muara kapuas. Ini membuat para bumiputera dan hoakiau menaruh hormat kepada Presiden Lo Fang Pak.
Kun Tien atau lazimnya disebut Pontianak sekarang yang mana terletak di muara sungai Kapuas merupakan daerah niaga yang di kuasai oleh Sultan Abdulrachman. Sedangkan hulu sungai Kapuas di pegang oleh Kelompok Dayak. Kesultanan yang berbatasan dengan Kun Tien adalah Mempawah. Sultan Kun Tien mencoba membangun istana agak ke hulu sungai yang mana dekat dengan perbatasan Kesultanan Mempawah dan ini memicu perang antara kedua kesultanan. Dalam perang ini (1794) Sultan Kun Tien dibantu oleh Lan Fang Kongsi karena kedekatan diantara mereka.
Sultan Mempawah kalah dalam perang lalu bergabung dengan Dayak dan melakukan serangan balasan. Lo Fang Pak kembali mematahkan kekuatan Sultan Mempawah, malah kali ini Sultan Mempawah didesak terus ke utara sampai Singkawang, kemudian berakhir dengan Sultan Singkawang dan Sultan Mempawah menandatangani perjanjian perdamaian dengan Lo Fang Pak. Segera setelah kejadian itu popularitas Lo Fang Pak melesat dramatis, ketika itu beliau berusia 57 tahun.
Setelah itu, rakyat, dan orang Tionghoa didaerah itu bergabung dengan Lo Fang Pak untuk mencari perlindungan, dan Sultan Kun Tien menyadari bahwa dia tidak sanggup melawan kekuatan militer Lo Fang Pak, maka Sultan sendiri meminta perlindungan dari Lo Fang Pak. Presiden Lo Fang Pak wafat pada tahun 1795, beliau sempat tinggal di Borneo selama lebih dari 20 tahun.
Tahun tahun terakhir Lan Fang
Pada saat republik Lan Fang berusia 47 tahun semasa kekuasaan president yang ke-5, Liew tai Er, Belanda mulai menjalankan ekspansinya di Indonesia dan mulai masuk ke Tenggara Borneo. Lama kelamaan Lan Fang kehilangan hak otonomi-nya, dan mulai menjadi bagian dari Hindia Belanda.
Kemudian Belanda membuka kantor kolonialnya di Kun Tien dan mencampuri urusan Republik Lan Fang. Pada tahun 1884, Singkawang yang menolak dijajah oleh Belanda, mendapat serangan dari Belanda dan Belanda akhirnya menduduki Lan fang Kongsi (1885). Lan Fang sempat bertahan dan melawan selama 4 tahun, namun berakhir dengan kekalahan dan orang orangnya melarikan diri ke Sumatra.
Takut akan reaksi keras dari pemerintahan Ching di Tiongkok, menyebabkan Belanda tidak pernah menyatakan menguasai Lan Fang, maka dibiarkan salah satu dari keturunan Lan Fang menjadi pemimpin disana. Baru setelah terbentuknya Republik of China (Cung Hwa Ming Kuok) 1911, maka pada tahun 1912 Belanda secara resmi menyatakan menguasai daerah itu.
Orang orang Lan Fang yang lari ke Sumatra bergabung lagi di Medan. Dari sana mereka menyebar ke Kuala Lumpur dan Singapura. Salah seorang dari keturunannya adalah Lee Kuan Yew. Hakka adalah kelompok minoritas di Singapura, namun orang Hakka memainkan peran penting dalam mendirikan Lan Fang Kongsi yang kedua di Singapura.
Rekaman sejarah
Dari catatan sejarah Ching Dynasty, tercatat sbb: “ ada suatu tempat dimana orang Ka Yin (dari daerah Mei Hsien), menambang emas, membangun jalan, mendirikan negaranya, setiap tahun kapal-kapal niaga-nya berlabuh di Guang Zhou dan Chao Zhou. Dari catatan sejarah Lan Fang Kongsi diketahui mereka setiap tahunnya melakukan kunjungan kehormatan dengan armada dagangnya kepada Dinasti Ching, seperti yang dilakukan juga oleh Annan (Vietnam)”.
Ibu kotanya adalah Che Wan Li. Presiden The Ta Tang (Chon Chang) terpilih melalui pemilu. Kedua presiden dan wakilnya dari Hakka dari Ka Yin dan daerah Ta Pu. Benderanya empat persegi panjang berwarna kuning dengan lambang dan kata kata Lan Fang Ta Tong Chi. Panji kepresidenan berbentuk segi tiga berwarna kuning dengan kata Chuao (Jenderal). Pejabat tingginya berpakaian ala Tiongkok kuno, sedangkan yang berpangkat lebih rendah mengenakan pakaian ala barat.
Kabarnya di Pontianak ada prasasti kenangan yang dibuat untuk beliau, juga di Mei Shien Tiongkok ada prasasti sejenis disebuah sekolah yang dinamakan San Mei Pei Cung Shueh.

Jumat, 13 Mei 2011

Kebudayaan Suku Asmat


Kebudayaan Suku Asmat
 

Budaya atau Kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah. Yang merupakan bentuk jamak dari buddhi(budi atau akal) diartikan sabagai hal-hal yang berkaitan dengan budai dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengola atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
 
Indonesia terdiri dari banyak suku dan budaya, salah satunya adalah Suku Asmat, suku yang berada di wilayah timur Indonesia,lebih tepatnya di pulau Papua. Mari kita telusuri lebih dalam tentang suku Asmat.

Suku Asmat adalah sebuah suku di Papua. Populasi suku Asmat terbagi dua yaitu mereka yang tinggal di pesisir pantai dan mereka yang tinggal di bagian pedalaman. Kedua populasi ini saling berbeda satu sama lain dalam hal cara hidup, struktur sosial, dan ritual. Populasi pesisir pantai selanjutnya terbagi ke dalam dua bagian yaitu Suku Bisman yang berada di antara Sungai Sinesty dan Sungai Nin serta Suku Simai. Biasanya dalam satu kampung dihuni kira-kira 100 sampai 1000 orang. Setiap kampung punya satu rumah bujang dan banyak rumah keluarga. Rumah bujang dipakai untuk upacara adat dan upacara keagamaan. Rumah keluarga dihuni oleh dua sampai tiga keluarga.

Suku Asmat memiliki pakaian tradisional yang cukup sederhana. Mereka hanya menutupi bagian tubuh dengan kulit binatang atau jerami kering. Dan biasanya bagi pria dewasa di suku asmat untuk menutupi kemaluannya menggunakan Koteka. Koteka terbuat dari kulit labu air yang dikeringkan.  Dan untuk menghiasi tubuh, mereka hanya membutuhkan tanah merah untuk menghasilkan warna merah, untuk menghasilkan warna putih mereka membuatnya dari kulit kerang yang sudah dihaluskan, sedangkan warna hitam mereka hasilkan dari arang kayu yang dihaluskan. Cara menggunakan pun cukup simpel, hanya dengan mencampur bahan tersebut dengan sedikit air, pewarna itu sudah bisa digunakan untuk mewarnai tubuh.

Kebiasaan bertahan hidup dan mencari makan antara suku yang satu dengan suku yang lainnya di wilayah Distrik Citak-Mitak ternyata hampir sama. suku asmat darat, suku citak dan suku mitak mempunyai kebiasaan sehari-hari dalam mencari nafkah adalah berburu binatang hutan separti, ular, kasuari, burung, babi hitan, dan lainnya. mereka juga selalu meramuh atau menokok sagu sebagai makan pokok dan nelayan yakni mencari ikan dan udang untuk dimakan. Sehari-hari orang Asmat bekerja di lingkungan sekitarnya, terutama untuk mencari makan. Anak-anak harus membantu orangtuanya. Bahan makanan yang sudah terkumpul akan dimasak oleh para ibu. Selain punya tugas memasak, para ibu juga mempunyai tugas menjaring ikan di rawa-rawa.

Mereka mengenal tiga konsep dunia: Amat ow capinmi (alam kehidupan sekarang), Dampu ow campinmi (alam pesinggahan roh yang sudah meninggal), dan Safar (surga). Suku ini percaya bahwa sebelum memasuki surga, arwah orang yang sudah meninggal akan mengganggu manusia. Gangguan bisa berupa penyakit, bencana, bahkan peperangan. Maka, demi menyelamatkan manusia serta menebus arwah, mereka yang masih hidup membuat patung dan menggelar pesta seperti pesta patung bis (Bioskokombi), pesta topeng, pesta perahu, dan pesta ulat-ulat sagu.

Dalam kehidupan Suku Asmat, batu yang biasa kita lihat di jalanan ternyata sangat berharga bagi mereka. Bahkan, batu-batu itu bisa dijadikan sebagai mas kawin. Semua itu disebabkan karena tempat tinggal Suku Asmat yang membentuk rawa-rawa sehingga sangat sulit menemukan batu-batu jalanan yang sangat berguna bagi mereka untuk membuat kapak, palu, dan sebagainya. Orang-orang Asmat merasa dirinya bagian dari alam. Karena itulah mereka sangat menghormati dan menjaga alam sekitarnya bahkan, pohon di sekitar tempat hidup mereka dianggap menjadi gambaran dirinya. Batang pohon menggambarkan tangan. Buah menggambarkan kepala. Akar menggambarkan kaki.

Ukiran Kayu Suku Asmat

Karya ukir kayu khas Suku Asmat adalah salah satu kekayaan budaya nasional yang sudah memiliki nama bagi para turis asing. Karakteristik ukiran Suku Asmat mempunyai pola yang unik dan bersifat naturalis. Dari pola-pola itu terlihat kerumitan cara membuatnya sehingga membuat karya ukir mereka bernilai tinggi dan cukup banyak diminati para turis asing.

Dari segi model, ukiran Suku Asmat sangat beragam, mulai dari patung manusia, perahu, panel, perisai, tifa, telur kaswari, sampai ukiran tiang. Suku Asmat biasanya mengadopsi pengalaman dan lingkungan hidup sehari-hari sebagai pola ukiran mereka, seperti pohon, perahu, binatang, orang berperahu, dan lain-lain.

Yang paling istimewa dan unik adalah bahwa setiap karya ukir tidak memiliki kesamaan atau duplikatnya karena mereka tidak memproduksi ukiran berpola sama dalam skala besar. Jadi, kalau kita memiliki satu ukiran dari Asmat dengan pola tertentu, itu adalah satu-satunya yang ada karena orang Asmat tidak membuat pola sama dalam ukirannya. Bentuk boleh sama, misalnya perisai atau panel, tetapi soal pola pasti akan berbeda. Itulah keunikan ukiran Suku Asmat.
Suku Asmat memiliki ragam budaya dan seni pertunjukan yang luar biasa. Setiap wisatawan yang datang ke wilayah Suku Asmat pastilah akan disuguhkan suatu fenomena alami yang menyatu dengan lingkungan alamnya yang masih asli.

walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu jua. karena kita satu INDONESIA.